Learning is forever
Going where this year?
Saya baru saja selesai membaca novel Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas karya Andrea Hirata yang saya pinjam dari Anis Chung. Di novel itu, diceritakan tentang seorang anak perempuan bernama Enong berusia 14 tahun yang baru saja kehilangan ayahnya yang meninggal dunia. Dia punya 3 orang adik yang harus diberi makan dan terus sekolah. Maka dia memutuskan untuk keluar dari sekolah dan menjadi penambang timah di pulau Belitung untuk menyambung hidup keluarganya dan pendidikan adik-adiknya.
Ada lagi kisah lainnya, tapi ini kisah nyata, bukan dari novel. Saya mempunyai tetangga, sebut saja namanya Anto. Dia seumuran dengan saya. Dia anak yang pintar, namun keluarganya kurang mampu, kalau tidak bisa dibilang “kere”. Dulu waktu kami sama-sama lulus SMP dan mencari sekolah yang diidamkan, ia ingin masuk ke SMK Negeri Jetis Yogyakarta. Dia bercita-cita untuk memajukan kehidupan keluarganya. Dan saya masuk ke SMA Negeri 5 Yogyakarta. Walaupun nilai NEMnya tinggi, namun karena keluarganya tidak punya uang untuk membayar uang sumbangan siswa baru, maka dia pun memilih untuk masuk ke SMK swasta yang tidak jelas arah pendidikannya, siswanya juga tidak jelas, namun tidak memakai sumbangan. Ketika kami kelas 2, yayasan yang menyokong SMK nya bubar. Maka sekolahnya pun ikut bubar. Dan nasib pendidikannya semakin gelap. Untuk pindah ke sekolah lain, juga dibutuhkan “sumbangan pindahan” yang tidak sedikit.
Akhirnya dia memutuskan untuk bekerja disebuah usaha sablon di kampung kami. Dan dia tidak sekolah lagi. Tapi dia bangga, karena dapat membiayai sekolah 3 orang adiknya dan sedikit membantu kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Nah, pertanyaan saya, dimana orang-orang seperti Tanoto, Eka Cipta, Djarum, Sampoerna, Salemba, dan konglomerat-konglomerat lain untuk anak-anak seperti Enong dan Anto. Kenapa mereka memilih untuk memberikan biaya untuk mahasiswa, yang bila dilogika mereka mempunyai biaya untuk sekolah SD, SMP, sampai SMA.
Banyak orang-orang yang saya kenal, mereka mahasiswa, mempunyai motor, laptop, handphone, rutin jalan-jalan dan piknik, sering belanja barang-barang yang bisa dibilang tersier, dan mampu makan 3 kali sehari, namun mendapatkan apa yang disebut beasiswa.
Saya sendiri tidak pernah mendapatkan beasiswa karena memang Indeks Prestasi saya tidak mencukupi, dan saya tidak menyerang orang-orang yang mendapatkan beasiswa ini. Tapi saya bertanya kepada para konglomerat dan juragan yang memberikan beasiswa untuk mereka. Adakah anda-anda semua untuk anak bangsa yang pintar, cerdas, dan kreatif, namun tidak mampu membayar uang sekolah SD, SMP, SMA dan membanting tulang untuk membiayai hidup keluarganya?
You can be the first to comment!