Tadi siang saya Jumat an di Masjid Siswagraha di utara Fakultas Teknik. Sang khatib bercerita, suatu saat dia naik pesawat dari London ke Jakarta, di sebelahnya adalah salah seorang petinggi Pertamina pada waktu itu. Katanya, si petinggi Pertamina itu barusan dari belanja peralatan golf di London.
Sang khatib waktu itu bertanya, “Kenapa Pertamina tidak bisa semaju perusahaan minyak milik negara yang lain?”. Sang petinggi Pertamina menjawab, “Di Pertamina, sebagian besar sarjana yang diterima adalah keluarga/anaknya teman/relasi orang dalam Pertamina, yang rata2 skillnya tidak terlalu bagus, namun pemalas dan tidak punya inisiatif. Sehingga sarjana2 yang skill nya bagus namun tidak punya relasi pada ‘ditangkap’ oil company asing’. Sarjana tanpa relasi seperti ini sebelumnya sudah terbiasa hidup prihatin, makanya ketika dia tahu bayarannya di oil company asing cukup besar, dia jadi bekerja dengan sangat giat dan orang2 seperti inilah yang membuat oil company asing bisa terus bercokol di Bumi Indonesia. Sementara itu, sarjana pemalas namun punya relasi tadilah yang akan terus menggerogoti Pertamina.
Itu siapa yang salah? Direksi Pertamina kah yang membiarkan penyakit menahun tersebut berlarut2? Atau HRD yang tidak becus, mata duitan, dan takut sama atasan? Atau malah sang sarjana tanpa relasi yang tidak cukup punya rasa nasionalisme untuk terus mencoba masuk Pertamina?.”
Saya jadi ingat, suatu saat saya membaca post di Kaskus. “Ketika suatu oil company, entah itu lokal atau asing, yang beroperasi di Indonesia memperkerjakan orang Indonesia dan orang asing, entah itu bule, orang India, atau orang Asia Timur, pasti salary diantara orang Indonesia dan orang asing itu berbeda, walaupun spesifikasi kemampuan dan pengalamannya sama persis. Bahkan kadang2, misalnya, ahli wireline Indonesia yang sudah berkecimpung 10 tahun di field digaji 2.000 dollar sebulan, sementara itu bachelor bule bau kencur yang masih kikuk dan kadang2 suka hampir merusakkan alat digaji 10.000 dollar sebulan.
Ketika hal tersebut terjadi, siapa yang salah? Apakah Departemen Ketenagakerjaan yang tidak kepikiran dengan masalah ini dan tidak mengeluarkan regulasi khusus tentang ini? Apakah HRD nya yang terlalu mengagung2kan orang asing namun tidak tahu kenyataannya di lapangan? Atau para ahli lokal yang tidak pandai berdiplomasi untuk menuntut kesetaraan?