Bulan Januari ini, terhitung 4 tahun sudah saya terjun di Bursa Efek Indonesia sejak bulan Januari 2016. Niat pertama adalah, sama seperti mungkin nyaris semua investor saham di dunia, untuk menggapai kebebasan finansial. Karena saya tahu, penghasilan saya di pekerjaan saya yang sekarang ini, tidak cukup banyak untuk bisa langsung membeli rumah, atau bikin usaha, atau beli tanah. Untuk memutar tabungan saya yang cuma sedikit itu tadi, perlu sebuah instrumen atau alat yang lebih fleksibel. Pilihan saya jatuh ke saham. Beberapa orang-orang terkaya di dunia, memperoleh kekayaannya dari saham, yang paling terkenal tentu saja Warren Buffett. Mungkin saja saya bisa sedikit mengikuti jejak-jejak mereka di pasar saham.
Saya mulai dengan membaca primbon-primbon dasar pasar saham yang pasti direkomendasikan oleh nyaris semua investor di dunia, yaitu buku Intelligent Investor dan Security Analysis yang keduanya adalah karya Benjamin Graham. Kedua buku tersebut sudah teruji dan diakui oleh Warren Buffett sendiri, ya tentu saja karena Warren Buffett adalah mahasiswanya Benjamin Graham waktu beliau kuliah puluhan tahun yang lalu. Inti dari prinsip investasi yang dilakukan oleh Warren Buffett dan Benjamin Graham adalah mencari saham bagus, tetapi dengan valuasi rendah. Prinsip ini dikenal dengan nama value investing.
Parameter fundamental yang biasa digunakan dalam value Investing antara lain :
- Price/Earning (P/E) ratio, yaitu perbandingan antara harga saham dan pendapatan perusahaan tersebut.
- Price Book Value (PBV), yaitu perbandingan antara harga saham dengan nilai buku perusahaan tersebut.
- Return on Equity (ROE), yaitu perbandingan pengembalian penghasilan atas modal yang ditanamkan pada perusahaan tersebut.
- Debt to Equity Ratio (DER), yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas perusahaan tersebut.
Prinsip investasi ini menenekankan bahwa kita hanya boleh berinvestasi pada perusahaan yang proses bisnisnya sederhana dan gampang untuk dimengerti. Dengan berbekal prinsip tersebut dikombinasikan dengan matematika sederhana untuk menghitung parameter fundamental, dan mencari info mengenai bisnis-bisnis perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, saya memilih untuk membeli 5 saham yang berbeda, dengan modal yang tentu saja sangat cekak.
Sepanjang 2016, portofolio saya tumbuh 27%, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbuh 15.3%. Lumayan karena diantara 5 saham tersebut, saya mendapatkan multibagger, yaitu saham yang tumbuhnya bisa sampai beberapa kali lipat. Multibagger saya di 2016 adalah PTBA, saham dari BUMN tambang batubara PT Bukit Asam. Saya memilih PTBA karena saya tahu, batubara dari Bukit Asam banyak dipakai oleh pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia, selain untuk diekspor. Dan pada saat itu sedang gencar-gencarnya pembangunan PLTU di Indonesia. Saya membeli PTBA dengan harga Rp 4.338 per lembar sahamnya. Di akhir 2016, harganya naik jadi Rp 12.500, atau naik nyaris 3 kali lipat. Tapi sayang, saham PTBA saya ini hanya 1/5 bagian dari seluruh portofolio saya. Saham saya yang lain cuma tumbuh sedikit, ada juga yang jeblok.
Di tahun 2017, saya mulai penasaran untuk memperoleh multibagger lain, dan karena saya makin sibuk dengan pekerjaan saya, saya pun mencari jalan pintas. Yaitu membeli rekomendasi saham dari investor lain yang sudah terkenal di Indonesia. Saya pun membeli beberapa saham rekomendasi tersebut. Ada satu yang sempat jadi multibagger, yaitu KBLI, saham dari PT KMI Wire and Cable. Ya memang ada sedikit insider info, karena saya tahu kabel dari KBLI banyak dipakai di seluruh penjuru Indonesia oleh perusahaan tempat saya bekerja. Saya membeli KBLI seharga Rp 280.5 per lembar pada Februari 2017. Dan ternyata hanya dua bulan kemudian naik menjadi Rp 865. Tapi sayang, saya terlalu percaya pada pasar modal yang akan menghargai KBLI lebih dari itu. Ternyata satu bulan kemudian KBLI mulai turun sampai lebih dari setengahnya.
Dan saham-saham lain yang saya beli berdasarkan rekomendasi tersebut, ternyata tidak ada yang bisa bagger, beberapa malah jongkok saja di tempat. Alhasil di tahun kedua ini saya dikalahkan telak oleh IHSG. IHSG naik 19.2%, eh portofolio saya turun, ya cuma sedikit sih -0.53%.
Tahun 2018, saya sudah tidak pakai lagi rekomendasi-rekomendasi berbayar. Saya screening sendiri semua emiten atau saham yang akan saya beli. Saya dapat bagger lagi di tahun 2018. Yaitu ERAA, saham dari importir dan distributor handphone dan gadget di Indonesia PT Erajaya Swasembada (swasembada kok impor, hehehe). Saya beli ERAA di harga Rp 1102, tidak sampai empat bulan setelahnya, naik jadi Rp 3400. Nah sayangnya sama juga dengan KBLI, walaupun kali ini hasil analisis sendiri, ERAA juga jatuh lagi beberapa bulan kemudian. Di tahun 2018, portofolio saya akhirnya naik 12.09%, tapi IHSG justru malah turun -2.54%. Mungkin hikmah karena beli saham hasil analisis sendiri, bukan ikut-ikutan orang.
Setelah saya pelajari lagi, saham yang bisa naik dan kemudian turun lagi kayak roller coaster gini, ternyata sedang ‘digoreng’ atau dipermainkan harganya oleh bandar, atau investor yang mempunyai dana sangat besar yang bisa mempengaruhi naik atau turunnya harga sebuah saham seenak hatinya sendiri dengan cara pump and dump atau beli di harga rendah. Kemudian beli lagi beli lagi sambil dinaikkan sedikit demi sedikit harga belinya supaya banyak orang lain yang juga ikut beli. Nah kemudian setelah dia dapat harga yang oke, dia jual lagi perlahan-lahan semua sahamnya di emiten tersebut. Sampai tercapai titik harga tertinggi, orang-orang lain pada sadar sudah tidak ada lagi yang jualan atau beli, sahamnya sepi lagi dan orang-orang akan keluar dari saham tersebut, dan akhirnya harganya pun jatuh kembali ke harga semula atau bahkan lebih rendah.
Akhirnya tahun 2019, saya mulai sedikit merubah strategi dengan pelan-pelan masuk di emiten saham blue chip dengan market capitalization atau total nilai saham yang besar. Saham dengan market cap yang besar memang lambat naiknya, tidak seperti saham dengan market cap kecil seperti ERAA yang cuma Rp 5,4 trilyun, atau KBLI yang cuma Rp 2 trilyun yang bisa naik banyak dalam hitungan bulan, tetapi relatif lebih resisten terhadap permainan bandar. Saat ini saya punya 26 saham (iya memang kebanyakan), memang sebagian besar dengan market cap kecil. Dan karena terlalu value investing, saya jadi lupa jualnya, karena menurut saya parameter fundamentalnya masih oke. Dan terus terang karena saya terlambat profit taking, ya contohnya di PTBA, KBLI, dan ERAA tadi, jadinya sayang mau dijual sekarang, nanti saja kalau dikerek bandar lagi. Hehehe. Di 2019, portofolio saya naik lebih tinggi dibanding IHSG, punya saya 7.49%, IHSG cuma naik sedikit 1.7%.
Tetapi untungnya selama ini, saya tidak pernah beli terlalu mahal dan jual terlalu murah atau cut loss. Beberapa kali momen IHSG drop saya manfaatkan untuk beli saham market cap besar (yang turun juga ikut IHSG). Sehingga walaupun ada beberapa yang minus, tapi overall portofolio saya tumbuh dalam 4 tahun ini. Dan overall, sudah bisa dikatakan (sedikit) beat the market.
Mungkin ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik selama 4 tahun ini :
- Jangan terlalu banyak punya saham. Untuk pemula maksimal 5 atau 10 saham saja. Kalau mau tambah saham lain, jual dulu saham yang dipunyai yang parameter fundamentalnya sudah keluar kriteria.
- Jangan terlambat jual (untuk saham market cap kecil). Bandar-bandar saham di Indonesia sangat kejam dan haus darah. Dalam hitungan bulan suatu emiten bisa naik berkali-kali lipat, namun juga bisa langsung terjun hanya dalam hitungan minggu.
- Gunakan keuntungan dari trading di saham market cap kecil untuk nabung saham blue chip yang market capnya besar dan relatif naik terus walaupun lambat naiknya.
- Rekomendasi dari investor senior atau orang lain belum tentu lebih jitu dari hasil screening atau analisis sendiri, apalagi rekomendasi-rekomendasi berbayar. Kebanyakan investor yang jualan rekomendasi saham, sebagian besar penghasilannya ya diperoleh dari jualan rekomendasinya itu, bukan dari capital gain saham yang dia investasikan. Ya mungkin mirip-mirip MLM. Atau mirip management fee-nya hedge fund-hedge fund besar di Amerika serikat.